Jumat, 23 Mei 2014

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER






                       MAKALAH
PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENGATASI HILANGNYA MORAL PADA SISWA SEKOLAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan

Disusun oleh:
Tri Utami
1401411302
6C (18)
Dosen pengampu: Drs. Akhmad Junaedi, M.Pd.


JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

              Pendidikan merupakan suatu usaha agar individu dapat mengembangkan kepribadian dan potensinya baik dalam segi fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual melalui proses belajar maupun pengalaman. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Bab 1 pasal 1 menyebutkan:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan rumusan tersebut, tujuan pendidikan tidak hanya untuk membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa, berpancasila, dan beragama.
Pendidikan tidak hanya difokuskan pada aspek kognitif yang bersifat teknis, tetapi harus mampu menyentuh softskill seperti aspek spiritual, emosional, social, fisik, dan seni. Di sisi lain yang lebih utama dari pendidikan adalah membantu anak-anak berkembang dan menguasai ilmu pengetahuan yang diberikannya. Berdasarkan penelitian Harvard University AS (Sudrajat, 2010) mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang (siswa) 80% ditentukan oleh kemampuan mengelola diri (soft skill), dan 20% ditentukan oleh kemampuan teknis (hard skill).
   Dalam konteks pendidikan karakter, pendidikan dilaksanakan untuk untuk mendidik siswa menjadi manusia ihsan, yang berbuat baik dengan tindakan yang baik berdasarkan kecerdasan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Indonesia saat ini menghadapi masalah berat yang berkaitan dengan moral bangsa, maraknya demoralisasi yang merata di setiap kalangan masyarakat menjadikan pemerintah semakin gencar untuk mencanangkan pendidikan karakter. Karakter seseorang akan menjadi baik ketika dewasa apabila ia mendapatkan pendidikan karakter yang baik juga saat masih kecil. Dengan kata lain pembentukan karakter pada seseorang harus berawal sejak sedini mungkin, dimulai dari lingkup keluarga, kemudian dilanjutkan pada masa sekolah anak.
Melihat fenomena tersebut, sebagai pendidik khususnya guru SD memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak dan membentuk karakter kepribadian siswa. Guru tidak hanya dituntut agar mampu mencetak generasi bangsa yang cerdas, namun juga harus berhasil menanamkan nilai-nilai luhur untuk pembentukan karakter siswa yang akan dibawa sampai dewasa. Apabila hal ini berhasil maka bangsa tidak akan  ada lagi budaya Korupsi, kriminalitas, konflik antar RAS, dll.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis tertarik untuk membuat makalah yang berjudul Penerapan Pendidikan Karakter untuk mengatasi Hilangnya Moral pada Siswa Sekolah.

1.2  Rumusan Masalah
        Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1.   Mengapa perlu menerapkan pendidikan karakter di Sekolah?
2.   Apa dampak adanya pendidikan karakter di Sekolah?
3.   Bagaimana penerapan pendidikan karakter di Sekolah?
4.   Nilai-nilai apa sajakah yang perlu diterapkan pada siswa Sekolah?
5.   Bagaimana cara membangun karakter di Sekolah Dasar secara efektif?
1.3  Tujuan Pembahasan
1.   Mengetahui alasan diterapkannya pendidikan karakter di Sekolah.
2.   Mengetahui penerapan pendidikan karakter di Sekolah.
3.   Mengetahui dampak diterapkannya pendidikan karakter di Sekolah.
4.   Mengetahui nilai-nilai yang harus diterapkan pada Siswa Sekolah
5.   Mengetahui cara efektif untuk membangun karakter di Sekolah Dasar.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Alasan diterapkannya Pendidikan Karakter
                    Pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa telah mengalami kemerosotan moral. Perilaku-perilaku yang sangat bertentangan dengan moral, etika dan sopan santun selalu identik dengan mereka. Misalnya, baru-baru ini telah beredar rekaman video mesum di Kediri, Kertosono, Nganjuk, Banyuwangi dan daerah-daerah lain di Indonesia.
                      Kejadian tersebut sempat membuat keprihatinan tersendiri bagi  pendidik dan orang tua. Kalangan pendidik yang setiap hari sebagai pengasuh moral pelajar merasakan ada yang ganjil pada anak didiknya. Lingkungan sekolah sudah diciptakan sedemikian rupa, dengan tata tertib sekolah, agar para terdidik tidak terpengaruh oleh perbuatan-perbuatan atau perilaku menyimpang yang kini mulai merebak di tengah masyarakat. Namun bebasnya pergaulan dan pengaruh lingkungan yang sangat kuat, pendidikan yang mereka peroleh dari sekolah tidak mampu lagi membendung arus demoralisasi pelajar.
            Secara umum terjadinya demoralisasi  pelajar disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu:
1.   Dampak negative dari perubahan social
Era globalisasi dan modernisasi membawa banyak perubahan pada masyarakat begitupun bagi kalangan pelajar. Namun, tidak semua yang disebabkan oleh globalisasi membawa dampak positif bagi dunia pendidikan khususnya dalam perannya membentuk generasi muda yang berkarakter.
   2.   Faktor keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dalam penanaman nilai dan norma kepada anak, sehingga di dalam keluarga diharapkan mampu melakukan perannya untuk menjadi media sosialisasi yang sempurna. Apabila keluarga tidak mampu menjalankan perannya dengan baik maka yang terjadi adalah anak akan menyimpang perilakunya dan akan merosot moralitasnya.
3.   Salah pergaulan
Lingkungan pergaulan merupakan salah satu faktor penting yang turut mempengaruhi pembentukan karakter pelajar. Pergaulan yang positif akan mengarahkan anak pada pribadi yang baik, namun sebaliknya pergaulan yang negative akan menjerumuskan anak pada pemorosotan moral dalam dirinya.
       Hal tersebutlah yang mendasari mulai diterapkannya pendidikan karakter pada siswa SD. Pendidikan karakter diperlukan oleh setiap manusia untuk membentuk kepribadiannya yang luhur, hal tersebut harus ditempa sedini mungkin sejak masih SD khususnya.
2.2  Pendidikan Karakter di Sekolah
Faktor kelurga sangat berperan dalam membentuk karakter anak. Namun kematangan emosi social ini selanjutnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah sejak usia dini sampai usia remaja. Bahkan menurut Daniel Goleman, banyaknya orang tua yang gagal dalam mendidik anak-anak, kematangan, emosi social anak dapat dikoreksi dengan memberikan latihan pendidikan karakter kepada anak-anak di sekolah terutama sejak usia dini.
            Sekolah adalah tempat yang strategis untuk pendidikan karakter karena anak-anak dari semua lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakternya. Indonesia belum mempunyai pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran yang berisikan tentang pesan-pesan moral, misalnya pelajaran agama, kewarganegaraan, dan pancasila. Namun proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan pendekatan penghafalan (kognitif). Para siswa diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur hanya dengan kemampuan anak menjawab soal ujian (terutama dengan pilihan berganda). Karena orientasinya hanyalah semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus, maka bagaimana mata pelajaran dapat berdampak kepada perubahan perilaku, tidak pernah diperhatikan. Sehingga apa yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action).                            Semua orang pasti mengetahui bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi banyak sekali orang yang tetap melakukannya. Tujuan akhir dari pendidikan karakter adalah bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral. Menurut Berman, iklim sekolah yang kondusif dan keterlibatan kepala sekolah dan para guru adalah factor penentu dari ukuran keberhasilan interfensi pendidikan karakter di sekolah. Dukungan saran dan prasarana sekolah, hubungan antar murid, serta tingkat kesadaran kepala sekolah dan guru juga turut menyumbang bagi keberhasilan pendidikan karakter ini, disamping kemampuan diri sendiri (melalui motivasi, kreatifitas dan kepemimpinannya) yang mampu menyampaikan konsep karakter pada ana didiknya dengan baik.
2.3  Dampak  diterapkannya Pendidikan Karakter di Sekolah
                  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri – St. Louis, menunjukkan adanya peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
                    Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas dan sebagainya. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak Sekolah Dasar diantaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademik. Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan negara.
2.4   Nilai-nilai Karakter yang harus ditanamkan di Sekolah
Pada masyarakat yang heterogen dengan berbeda-beda latar belakang social budaya dan agama, adanya common values (nilai-nilai yang dijunjung tinggi bersama) sangat diperlukan. Nilai-nilai ini dapat menjadi perekat yang efektif sehingga akan tercipta relasi social yang harmonis, yaitu terjadinya rasa kebersamaan. Misalnya, adanya nilai kejujuran yang dijunjung tinggi maka akan membuat setiap orang percaya pada kelompok masyarakat lainnya, bahwa mereka tidak akan diambil haknya atau ditipu. Juga dengan adanya tanggung jawab, setiap orang akan menjalankan kewajibannya, sehingga hak semua orang dapat terpenuhi.
Ada beberapa nilai yang dianggap perlu untuk dijadikan fokus pendidikan karakter. Misalnya dalam deklarasi Aspen dihasilkan 6 nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam system pendidikan karakter di Amerika yang meliputi:
·         Dapat dipercaya
·         Memperlakukan orang lain dengan hormat
·         Bertanggung jawab
·         Adil
·         Kasih sayang
·         Warga negara yang baik
Sedangkan IHF telah membuat  konsep 9 pilar karakter untuk dijadikan modul pendidikan karakter. Kesembilan pilar ini adalah nilai-nilai yang bersifat universal yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-nya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/ amanah dan bijaksana, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong, (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
2.5  Membangun Karakter di sekolah Secara Efektif
1.      Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai yang mengandung acuan nilai moral. Lawrence Kohlberg adalah seorang yang paling berperan dalam menerapkan metode values clarification atau yang dikenal dengan moral dilemmas. Apabila seseorang sejak kecil tidak diberitahukan bekal standard moral yang dianggap baik atau buruk dan tidak berlatih untuk beraku jujur , maka kapasitas untuk memilih “tidak mencuri” tidak dimiliki, sehingga dengan mudah diaa mengambil keputusan untuk mencuri. Apabila ia mempunyai kapasitas di dalam dirinya untuk berlaku jujur, maka perasaan bimbang akan muncul, dan ia dapat memilih diantara dua tindakan yaitu “mencuri” dan “tidak mencuri”.
                 Metode value clarification tidak membenarkan untuk mengajarkan standart dari moral, tetapi harus timbul dari dalam diri seseorang, seperti metode Socrates. Hal ini bukan berarti cara Socrates dengan argumentasi adalah salah, tetapi menurut William Kilpatrick, cara ini hanya tepat digunakan untuk orang dewasa atau orang yang mengetahui sebelumnya standart moral baik dan buruk. Bahkan menurut plato sebagai orang yang menguasai filsafat Socrates, metode argumentasi hanya dapat diberikan pada orang yang sudah dewasa atau diatas umur 30 tahun.
2.      Pendidikan karakter yang melibatkan aspek moral knowing, moral feeling, dan moral action. Dalam pendidikan karakter Lickona menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami , merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebijakan.
3.      Penerapan kurikulum pendidikan karakter secara eksplisit.
John Dewey mengatakan bahwa sekolah yang tidak mempunyai program pendidikan karkter tetapi dapat mendirikan suasana lingkungan sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai moral, sekolah tersebut mempunyai pendidikan moral yang disebut hidden curriculum (kurikulum tersembunyi).
Salah satu kurikulum pendidikan karakter yang secara eksplisit dijalankan adalah metode pendidikan STAR (Stof,Think,Action,and Review) yang dikembangkan oleh Jafferson Center for Caracter Education yang berkedudukan di California, Amerika Serikat. Metode ini hnya memerlukan waktu 10 sampai 15 menit sehari sebelum kelas dimulai. Anak-anak mendapatkan pendidikan karakter dengan intruksi yang diberikan guru sesuai dengan kurikulum yang tersedia, dengan menggunakan beberapa tema secara bergantian (be responsible, be on time, be nice, be a good listener, dan sebgainya). Dengan menggunakan metode ini murid-murid sekolah digiring untuk mengerti konsep-konsep dengan cara berdiskusi. Kekurangan dari metode ini adalah kurang melibatkan aspek loving dan action.
4.      Menerapkan konsep DAP (Developmentally Appropriate Practices)
Sistem pendidikan yang salah dapat membunuh karakter anak. Sistem pendidikan sekarang menganggap anak-anak sebai bejana kosong yang perlu diisi, bukan untuk menyalakan semangat agar murid lebih bergairah untuk belajar. Sebetulnya setiap manusia dianugrahkan insting kecenderungan alami untuk belajar. Belajar adalah sebuah proses alami seperti halnya kita bernafas. Menurut seorang pakar pendidikan, Peter Kline, manusia sejak lahir dianugrahkan 2 insting yaitu insting untuk menyedot air susu ibu dan insting belajar. Kline mengibartkan dengan seorang bayi yang cepat sekali belajar bahasa dan mengenal lingkungannya walaupun kita tidak pernah menginstruksikannya secara langsung. Ia belajar dengan cara bereksplorasi. Yang melibatkan seluruh aspek inderanya ; mencium, meraba, mencicipi, merasakan, merangkap berbicara, mendengar dan betul-betul dalam proses belajar ini.  Sistem pembelajaran DAP adalah memperlakukan anak sebagai individu yang utuh yang melibatkan 4 komponen pengetahuan keterampilan sifat alamiah dan perasaan karena pikirn emosi imajinasi dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Apabila system pembelajaran di sekolah dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan maka perkembangan intelektual, social dan karakter anak, dapat terbentuk secara simultan.
5.      Belajar menyenangkan, system pembelajaran terpadu berbasis karakter.
Sekolah seharusnya bertanggung jawab untuk menumbuhkan kesenangan anak untuk belajar, sehingga mereka dapat belajar mengembangkan kemampuan dan bakatnya secara optimal. Menumbuhkan kecintaan anak untuk belajar, akan membentuk karakter yang kreatif, motivasi tinggi untuk terus mencari tahu, rasa tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya serta sikap kerja keras dan pantang menyerah. Salah satu aspek dari system DAP adalah dengan mengembangkan kurikulum pembelajaran terpadu agar anak-anak dapat menjadi manusia yang ingin belajar seumur hidup, sehingga dapat berpikir secara kritis, imajinatif, dapat mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kritis, dapat memberi alternative solusi, menghargai perbedaan, dapat bekerjasama, dan dapat menjadi insan yang peduli.
Keunggulan lain dari system pembelajaran terpadu adalah dapat membiasakan anak sejak usia dini untuk berpikir secara holistic, tidak berfikir fragmented, atau melihat masalah dari satu sisi saja.
6.      Pendidikan karakter yang sesuai dengan tahapan perkembangan moral anak. Seperti halnya aspek perkembangan motorik, mental dan social anak yang berjalan secara bertahap dan memerlukan pendekatan yang patut sesuai dengan tahapan umur anak, pendidikan karakter yang diberikan kepada anak juga harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan moral anak. Misalnya, usia anak SD tidak dapat diharapkan untuk mempunyai pemahaman rasional yang dikaitan dengan tujuan menjaga keutuhan sebuah system social dengan cara yang abstrak. Proses sosialisasi pada tahapan ini dapat dilakukan dengan metode menumbuhkan kecintaan kepada kebajikan dengan contoh-contoh konkrit (membaca buku cerita, permainan, music dan menyanyi,dan sebagainya). Menurut seorang psikolog Lawrence Kohlberg, seseorang yang menghindari perilaku buruk karena takut akan hukuman adalatingkatan moral yang paling rendah. 
                 Sedangkan tingkatan moral yang paling tinggi adalah ketika seseorang mempunyai pemahaman rasional tentang-tentang prinsip-prinsip moral universal agar kelangsungan hidup sebuah system masyarakat dapat dipertahankan. Thomas lickona mengatakan bahwa seseorang yang menjunjung tinggi prinsip moral hanya semata-mata ntuk mempertahankan sebuah system social kemasyarakatannya, belum tentu mempunyai tingkata moral tertinggi. Menurutnya, bisa saja sebuah sistem social mempengaruhi individu untuk bersikap buruk (misalnya mengajak untuk berperang untuk membom Negara lain, walaupun harus membunuh banyak orang-orang yang tak berdosa). Menurut Lickona seseorang yang mempunai tingkatan moral tertinggi adalah mereka yang dapat mempertahankan prinsip-prnsip moral yang menghargai hak azasi manusia, alaupun harus berseberangan dengan system sosialnya yang buruk.
                 Untuk mencapai tingkatan moral tertinggi, beberapa pakar telah menyusun tahapan-tahapan perkembangan moral individu, yang sebetulnya satu sama lain adalah saling melengkapi. Pendidikan karakter baik dirumah maupun di sekolah harus harus disesuaikan dengan tahaan perkembangan moral anak agar pendekatannya sesuai. Dengan mengacu pada tahapan-tahapan ini dapat diharapkan seseorang dapat mencapai tingkatan moral tertinggi. Namun tidak semua orang dapatmencapai fase tahapan moral tertinggi walaupun umurnya sudah jauh melampaui batas yang bisa dicapai. Seorang dewasa bisa saja tahapan moralnya masih pada tahapan moral yang dicapai anak usia dibawah 8 tahun.
               Tampaknya untuk mencapai tahapan moral tertinggi seseorang harus berkemban hati nuraninya, yaitu yang mempunyai motto “saya harus setia kepada kebenaran universal”. Bukan kebenaran menurut “saya pribadi”, atau menurut “pemimpin”, atau “kelompok”. Walaupun tindakannya melawan hokum atau undang-undangyang berlaku (misalnya menolak membela Negara kalau Negara salah, atau menolak membayar pajak kalau uang pajak dikorupsi atau digunakan untuk membiayai perang), mereka ini tetap kuat mempertahankan prinsip kebenaran dan bersikap adl keoada seuruh manusia tanpa pandang bulu. Menurut banyak pakar, hanya sedikit sekali orang yang mencapai tahapan ini.
             Hati nurani bisa tumbuh kalau sejak kecil anak sudah dibiasakan untuk merasakan dan mencintai kebajikan. Seperti sudah diungkapkan sebeumnya, bahwa emosi atau kanan adalah ibarat otot, kalau tidak dibiasakan berfungsi maka akan menjadi lmpuh atau tidak berfungsi. Oleh karena itu, metode pendidikan karakter yang melibatkan aspek feeling dan loving dapat membantu anak untuk mencapai tahapan moral tertinggi.
7.      Bekerjasama dengan orang tua murid (co-parenting)
Orang tua murid harus menjadi partner dalam membentuk karakter anak, bahkan mempunyai peran utama. Sekolah yang menjalankan pendidikan karakter harus mempunyai rencana yang jelas tentang kegiatan yang dapat dilakukan bersama orang tua murid agar pembentukan karakter anak dapat terwujud. Sekolah dapat melakukan seminar atau workshop untuk meningkatkan kesadaran para orang tua murid dan melibatkan mereka dalam kegiatan pendidikan karakter.  Hal lain yang dapat dilakukan adla dengan memberikan pekerjaan rumah yang dapat dikerjakan bersama antara orang tua, dan anaknya di rumah; misalnya membaca atau membuat puisi tentang topic tertentu, membaca buku cerita yang topiknya ditentukan, dan sebagainya. Cara ini dapat mengajak seluruh orang tua murid untuk dapat terlibat dalam pendidikan karakter anak-anaknya. Atau pihak sekolah dapat mengirimkan booklet mengenai tips-tips penting yang berkaitan dengan pendidikan karakterdan atau membuat bulletin atau newsletter yang bertemakan karakter dan disebarluaskan kepada orang tua.
8.      Prinsip-prinsip pendidikan karakter di sekolah. Langkah terakhir adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip penerapan pendidikan karakter. Character Education Quality Standards merekomendaikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut:
- mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
- mengidentifikasikan karakter secara komprehensif supaya mencakup   pemikiran, perasaan dan perilaku.
- mengguanakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter.
- menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
- memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik
- memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses .
- mengusahakan tumbuhnya motivasi diri para siswa
- memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter yang setia kepada nilai dasar yang sama.
- adanya pembagian kepimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.
- memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter .
- mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.





                                                                          BAB III
PENUTUP

3.1   Simpulan
1.   Pendidikan karakter perlu diterapkan pada pelajar mengingat semakin hilangnya moralitas pelajar masa kini.
2.   Sekolah merupakan tempat yang sangat efektif untuk melaksanakan pendidikan karakter, guru dapat menyelipkan nilai-nilai luhur dalam setiap mata pelajaran.
3.   Sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter berdampak baik pada progress perilaku siswa yang semakin membaik dan tingginya motivasi siswa untuk memperoleh prestasi akademis.
4.   Nilai-nilai yang harus diterapkan pada pendidikan karakter antara lain: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-nya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/ amanah dan bijaksana, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong, (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
5.   Cara-cara yang efektif untuk menerapkan pendidikan karakter di sekolah antara lain: (1) Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai yang mengandung acuan nilai moral; (2) Pendidikan karakter yang melibatkan aspek moral knowing, moral feeling, dan moral action; (3) Penerapan kurikulum pendidikan karakter secara eksplisit; (4) Menerapkan konsep DAP (Developmentally Appropriate Practices); (5) Belajar menyenangkan, system pembelajaran terpadu berbasis karakter; (6) Pendidikan karakter yang sesuai dengan tahapan perkembangan moral anak; (7) Bekerjasama dengan orang tua murid (co-parenting); (8) memperhatikan prinsip-prinsip penerapan pendidikan karakter.
3.2   Saran
1.   Jadilah generasi penerus bangsa yang memiliki karakter nilai-nilai luhur bangsa seperti yang terkandung dalam Pancasila.
2.   Jadilah pendidik yang mampu memberikan teladan bagi siswa-siswanya kelak.




DAFTAR PUSTAKA

Jasman, 2013. Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter. (Online).  Tersedia: http://www.m-edukasi.web.id/2013/07/pendidikan-karakter.html. (22 Maret 2014)
Maryuni, 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar. (Online).  Tersedia: http://maryuni-akupedulipendidikan.blogspot.com/. (22 Maret 2014).
Zaini, 2011. Demoralisasi Pelajar. (Online). Tersedia: http: zainicentre.blogspot.com/2011/11/demoralisasi-pelajar.html. (22 Maret 2014).


1 komentar: